Langsung ke konten utama

Romantisme Berangkat Sekolah

     Saya adalah salah satu orang yang cukup akrab dengan bus umum jarak pendek. Hal ini karena saat sekolah menengah dulu saya selalu naik bus untuk berangkat dan pulang sekolah. Sejujurnya, ini hanya alasan praktis saja karena saya selalu bersekolah di tempat yang jauh dari rumah dan kebetulan tinggal di dekat jalan raya yang dilewati bus.
     Selama total enam tahun sekolah SMP dan SMA, bus-bus yang lewat di jalanan dekat rumah ini sangat berjasa untuk mengantar saya menuju sekolah yang berada di Kecamatan Kencong, Jember. Saat itu saya berimajinasi dengan memposisikan diri saya seperti para pelajar di Jepang yang menggunakan transportasi umum untuk ke sekolah. Rasanya menyenangkan dan imajiner sekali. Kalau pelajar di Jepang itu menggunakan bus atau kereta yang bersih, nyaman, dan aman, transportasi yang saya gunakan agak jauh dengan imajinasi itu. Bus umum yang mau mengangkut anak sekolah biasanya hanya bus yang jarak tempuhnya pendek, jalannya lambat, dan jangan ditanya soal kebersihannya. Tapi apa mau dikata, yang penting dengan tiga ribu rupiah bisa sampai sekolah dan tidak terlambat.
     Perlu saya banggakan bahwa selama sekolah dulu tidak pernah sekalipun saya terlambat. Biasanya pukul 06.10 WIB saya sudah sampai di halte dekat rumah untuk menunggu bus. Oh ya, jangan dibayangkan halte seperti di ibukota. Halte yang saya maksud adalah perempatan jalan di dekat rumah yang biasa digunakan anak sekolah untuk menunggu bus. Dulu di halte ini ada sekitar 10 orang pelajar yang menaiki bus. Bus biasanya akan lewat setiap 15 menit dan biasanya saya mendapat bus yang lewat pukul 06.20 atau selambat-lambatnya pukul 06.30. Saya perlu menghafal jadwal bus karena jarak sekolah SMP waktu itu 10 km dari rumah dan biasanya bus akan ngetem di beberapa titik sehingga harus menyesuaikan agar tidak terlambat. Seringkali saat berangkat sekolah tidak mendapat tempat duduk, berdiri di dekat pintu, atau lebih buruk lagi kadang bus tidak berhenti di halte karena sudah penuh. Kalau sudah seperti itu biasanya saya akan memilih naik bus yang lewat setelahnya atau memilih naik colt. Beruntungnya selalu ada kendaraan umum meski agak siang sehingga sebelum pukul 07.00 sudah sampai di sekolah.
     Saat SMA, kebiasaan diatas sudah mulai bergeser. Saya masih tetap naik bus untuk pergi ke SMA yang jaraknya relatif lebih dekat yaitu 7 km dari rumah. Ketika saya sudah SMA, teman-teman di halte yang dulu jumlahnya banyak, saat itu banyak berkuruang. Ada yang sekolahnya tidak lagi di Kencong dan selebihnya memilih untuk naik motor. Saat itu saya masih setia naik bus karena hanya itu yang bisa saya pilih. Tidak ada fasilitas motor untuk anak sekolah di rumah saya, karena ya sekolahnya masih bisa dijangkau dengan transportasi umum. Teman naik bus juga sudah berganti teman-teman baru di SMA yang kebanyakan berasal dari Kasiyan dan sekitarnya. Sayangnya saat menginjak kelas dua apalagi kelas tiga, mereka juga memilih mengendarai motor sehingga tinggal satu-dua yang tetap naik bus. 
     Sejujurnya naik bus umum saat itu tidak praktis-praktis amat. Sudah busnya kadang terlambat datangnya, jalannya lambat, dan saat pulang sekolah bus-bus itu juga jarang lewat. Seringkali saya menghabiskan waktu satu jam hanya untuk menunggu bus arah pulang. Sangat membuang waktu. Sepertinya memang lebih praktis naik motor. Namun, kadangkala beberapa teman yang mengendarai motor berbaik hati untuk memberi tumpangan berangkat atau pulang sekolah pada saya. Tentu ini tumpangan gratis yang sangat berarti. Terima kasih, ya! 
     Asam manis naik bus semasa sekolah memiliki kesan tersendiri untuk saya. Bagaimana tidak, dengan naik bus saya jadi punya time management harian agar tepat waktu. Banyak kejadian menyenangkan dan tidak yang saya temui di dalam bus meski naik bus hanya 10-15 menit saja. Tentunya juga bertemu dengan banyak orang yang unik. Ada pedagang yang bawa ayam di dalam bus, orang asing yang selalu ingin tahu siapa kita, anak kecil yang suka bermain dengan penumpang lain, tentara yang berseragam lengkap, bule yang mengajak bicara kami dalam bahasa Inggris patah-patah, atau bapak-bapak yang asap rokoknya bikin batuk. Kehidupan banyak orang ada dalam satu bus.

Halte yang sebenarnya perempatan
Sumber : Google Maps

     Tadi pagi saya melewati halte yang dulu saya gunakan untuk menunggu bus. Saya baru menyadari bahwa halte itu kini tidak lagi dipenuhi anak sekolah yang menunggu bus di pagi hari. Sudah beberapa tahun belakangan ini. Alasannya mudah. Seleksi alam dan aturan pemerintah. Sejak pandemi lalu, banyak armada bus yang tidak lagi lewat di jalanan ini. Entah karena bangkrut atau memang banyak orang memilih naik kendaraan pribadi. Sampai anak sekolah menengah pun kini mayoritas mengendarai motor. Selain itu, sistem zonasi yang diterapkan untuk pendaftaran sekolah menengah juga menjawab pertanyaan saya. Dulu anak-anak di daerah saya banyak yang bersekolah di Kencong. Saat ada aturan baru, mungkin membuat anak-anak harus bersekolah di wilayah masing-masing sehingga hampir tidak saya lihat lagi pelajar yang menunggu bus di halte itu. Tempat yang sudah belasan tahun digunakan pelajar dari waktu ke waktu untuk menunggu kendaraan umum sudah tidak seperti dulu. Padahal saya baru lulus SMA lima tahun lalu, tapi rasanya sudah seperti dua puluh tahun berselang. Ah, kenangan kecil saat berangkat sekolah dulu kenapa jadi sesentimentil ini?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menguji Nyali, Menuntaskan Misi (Bagian 2)

     Sebelum ini saya pernah menulis Menguji Nyali Menuntaskan Misi yang menceritakan sedikit perjalanan saya menuju kelulusan di perguruan tinggi. Kisah saya tulis secara runtut mengenai beberapa tahapan pengerjaan skripsi yang sampai pada ujian tugas akhir. Kali ini saya akan melengkapi Menguji Nyali Menuntaskan Misi bagian dua.      Seusai melaksanakan ujian skripsi, sebagian besar orang berpikir bahwa ini adalah tahapan terakhir yang dapat memberikan kita gelar sarjana. Tapi tentu saja tidak. Itu baru pertengahan karena masih banyak proses lain yang harus dilalui sampai bisa dinyatakan lulus secara resmi. Mulai dari revisi yang bikin emosi, setumpuk administrasi yang tak kunjung usai, dan entri nilai tugas akhir yang bukan terakhir. Makin mendekati kelulusan, makin banyak saja drama yang berlalu. Berlalu-lalang.       Saya terus membesarkan hati sendiri agar tidak menyerah. Semenjak memasuki tahapan pengerjaan skripsi, saya memilih pulang pergi naik motor dari rumah ke kampus yang

Jika Harus Punya Idola, 3 Tokoh Berikut yang Saya Pilih

     Saya ingat ketika Masa Orientasi Sekolah (MOS) di SMP dulu, kami harus menggunakan ID Card selebar A4 dengan identitas diri termasuk tokoh idola. Waktu itu saya bingung karena saya tidak merasa ngefans dengan siapa pun. Teman-teman saat itu banyak menulis public figure seperti artis, penyanyi, bahkan pejabat. Saya akhirnya mengosongi "tokoh idola" di ID Card warna pink milik Gugus 7 waktu itu karena memang tidak mengidolakan siapa pun.       Saat-saat sekarang, sebenarnya jika ada yang iseng tanya siapa tokoh yang saya idolakan, saya masih tetap tidak tahu. Tapi saya cukup memantau tokoh-tokoh berikut ini karena karya-karyanya dan saya rasa mereka bisa masuk kategori tokoh yang bisa saya idolakan. 1. Raditya Dika      Sebagian dari kita mungkin mengetahui siapa Raditya Dika. Dia adalah penulis, sutradara, produser, aktor, stand up comedian , dan Youtuber. Cukup banyak yang dia lakukan sehingga perlu saya sebut semuanya. Saya mengetahui Raditya Dika saat SMP karena

Menguji Nyali, Menuntaskan Misi

Tanggal 9 September minggu ini menjadi sebuah tanggal yang spesial bagi saya. Karena tepat satu tahun lalu, saya telah memberanikan diri untuk melangkah lebih dekat dengan skripsi. Sembilan September tahun lalu saya telah melaksanakan Seminar Proposal Skripsi. Sebenarnya ini bukan hal yang terlalu istimewa. Setiap orang yang kuliah dan mengambil mata kuliah skripsi atau tugas akhir juga akan melaksanakan Seminar Proposal. Tapi saat Anda berada di tahapan gak yakin-yakin amat , itu menjadi momentum uji nyali.  Ketika menulis postingan ini juga merupakan uji nyali bagi saya. Karena akhirnya saya punya mental yang siap untuk memberitahu banyak orang bahwa saya juga pernah mengalami masa-masa skripsian. Disaat orang lain menginjak tahapan skripsian, disaat itu juga saya tutup rapat-rapat dari orang lain. Rasa khawatir, malu, dan pikiran yang tidak penting itu rasanya selalu menghantui. Padahal juga tidak ada yang tanya sih, saya sudah sampai tahapan apa atau udah ngapain aja. Lagi-lagi, mo