Langsung ke konten utama

My Jajan is My Choice

Kebutuhan pangan manusia secara umum adalah makan tiga kali sehari. Tentunya setiap orang memiliki kebutuhan pangan yang berbeda sesuai aktivitas, kemampuan pemenuhan kebutuhan, selera, dll. Meskipun sudah makan berat dalam jumlah normal tiga kali sehari, sebagian dari kita masih butuh pemenuhan pangan selingan atau yang biasa kita sebut jajan. Jajanan jenisnya macam-macam. Ada manis, asin, ringan, berat, murah atau mahal. Jajan biasa dinikmati pada jam-jam tanggung di antara jam sarapan dan makan siang, atau sebenarnya bisa kapan saja. Bahkan ada beberapa orang yang cukup makan jajan tanpa makanan utama karena dianggap sudah cukup kenyang. Tentu ini berdasarkan preferensi masing-masing.

Bicara soal jajan, pasti masing-masing dari kita punya jajan favorit yang sering dimakan. Selera tiap orang tentu tidak sama. Saya pun demikian, ada jajanan yang menjadi favorit saya meski kadang orang lain tidak menyukainya. Salah satu yang menjadi favorit saya adalah getas. Kalian tentu tahu makanan satu ini. Olahan tepung ketan yang digoreng berbalut pasta gula pasir. Umumnya berwarna ungu kecokelatan karena menggunakan campuran tepung ketan hitam. Tekstur getas umumnya kering dan keras pada bagian luar dan lembut di bagian dalam. Rasanya? Tentu enak dan manis.

Getas
Sumber : resepcarariyati.blogspot.com

Beberapa waktu lalu saya sempat menikmati jajan ini. Kalian bisa mendapatkan getas dengan harga seribu rupiah per buah. Murah bukan? Murah. Ini adalah keyword cerita hari ini.

Saya membeli lima buah getas dan tiga diantaranya saya makan sendiri. Toh yang lain pada nggak mau. Belum 24 jam setelah memakan getas itu, tenggorokan saya terasa tidak nyaman. Saya memang punya riwayat radang tenggorokan sejak kecil dulu. Begitu terasa tidak nyaman, saya langsung meminum obat yang biasa saya konsumsi untuk meredakan rasa tidak nyaman itu. Ternyata rasa tidak nyaman itu tidak kunjung hilang dan disusul oleh demam. Welha, blaik. Sejauh yang pernah saya alami, jika tenggorokan saya tidak nyaman dalam jangka waktu tertentu akan bertambah menjadi flu dan demam. Terakhir saya demam seusai vaksin booster COVID-19 awal tahun ini. Saya tentu tidak ingin demam atau sakit lagi dalam waktu dekat. 

Ternyata saya benar-benar sakit. Demam tiga hari, flu dan batuk hampir seminggu, serta sakit tenggorokan. Benar-benar menyiksa. Sambil menahan rasa tidak nyaman ini dan itu, saya kembali mengingat-ingat apa penyebab sakit saya kali ini. Apakah getas menjadi penyebabnya? Ah, rasanya hampir tidak mungkin. Saya biasanya juga makan getas dan setelahnya tidak terjadi apa-apa kecuali kenyang. Saya mencoba berpikir lagi. Getas. Seribuan. Makan tiga. Sakit tenggorokan. Yak! Sebuah analisis muncul.

Menurut pemikiran saya yang masih disertai pusing dan demam itu, getas bisa menjadi salah satu penyebab. Bukan bagian ketannya, melainkan gulanya. Sepintas memang seperti getas normal yang enak dan manis. Tapi, bisa jadi gula yang digunakan bukan gula pasir asli melainkan pemanis buatan atau dalam istilah yang sering saya dengar, 1000 manis. Jujur saja, sejak kecil hingga saat ini saya tidak tahan dengan satu bahan ini dalam kadar tinggi. Efek kilatnya adalah tenggorokan menjadi tidak nyaman, katakanlah radang. Saya simpulkan bahwa getas yang saya beli kebetulan tidak tepat. Saya cukup bisa memastikan dari efek yang ditimbulkan serta harga jualnya. Seribu rupiah lho sudah bisa dapat satu getas. Padahal harga bahan bakunya tidak murah-murah amat. Beras ketan, minyak goreng, gula pasir. Bisa jadi lho ya, bisa jadi untuk menekan harga si pedagang menggunakan bahan lain yang bisa menimbulkan rasa manis yang sama. Tentu, saya tidak mendiskreditkan semua getas mempunyai bahan yang sama. Kebetulan saja, saya salah beli. Selain getas, bisa juga saat itu kondisi saya memang tidak fit sehingga mempercepat datangnya demam dan flu.

Setelah punya jawaban yang kira-kira tepat, akhirnya saya lebih tenang. Jadi, next time saya harus lebih berhati-hati kalau jajan. Selain pemanis buatan, saya ternyata juga tidak bisa mentolerir makanan dengan pengawet dan perisa tinggi. Sebut saja beberapa merek snack berbahan tepung jagung dan tepug kentang itu. Rasanya enak bukan? Tapi, beberapa jam setelahnya saya akan menyesal karena lagi-lagi, menyerang tenggorokan saya. Akhirnya saya mem-blacklist snack-snack tersebut. Kini, rasanya berat jika harus memasukkan getas dalam blacklist makanan. Wong ya jajan tradisional dan enak, ternyata masih gak bisa juga. Sejauh ini sudah banyak yang saya blacklist : snack kemasan, es campur dan sejenisnya, getas, dan masih banyak. Jangan dimakan nanti batuk. Wah, sudah persis ultimatum ibu-ibu ke anak balitanya. Meskipun sudah dua puluhan, ternyata ketahanan saya soal makanan masih sama seperti saat anak-anak dulu.

Sebenarnya saya masih bisa memakan makanan sejenis yang saya blacklist dengan syarat, buat sendiri atau membeli di tempat yang sangat terpercaya. Tapi saya keburu males, kalau masih memaksakan, resiko masih tetap ada. Mengingat rasa tenggorokan yang perih saat apapun lewat itu sudah bikin ngeri. Sudah, sepertinya saya jauhi saja. Kalau pingin jajan tapi tidak beresiko, ya jajan yang lain. Seperti jajan berikut ini, terhidang di meja makan kami. Kerupuk sadariyah (kerupuk berbahan singkong) buatan tetangga, ubi kukus, dan pisang barlin. Saya jamin aman.

Jajan di rumah kami



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menguji Nyali, Menuntaskan Misi (Bagian 2)

     Sebelum ini saya pernah menulis Menguji Nyali Menuntaskan Misi yang menceritakan sedikit perjalanan saya menuju kelulusan di perguruan tinggi. Kisah saya tulis secara runtut mengenai beberapa tahapan pengerjaan skripsi yang sampai pada ujian tugas akhir. Kali ini saya akan melengkapi Menguji Nyali Menuntaskan Misi bagian dua.      Seusai melaksanakan ujian skripsi, sebagian besar orang berpikir bahwa ini adalah tahapan terakhir yang dapat memberikan kita gelar sarjana. Tapi tentu saja tidak. Itu baru pertengahan karena masih banyak proses lain yang harus dilalui sampai bisa dinyatakan lulus secara resmi. Mulai dari revisi yang bikin emosi, setumpuk administrasi yang tak kunjung usai, dan entri nilai tugas akhir yang bukan terakhir. Makin mendekati kelulusan, makin banyak saja drama yang berlalu. Berlalu-lalang.       Saya terus membesarkan hati sendiri agar tidak menyerah. Semenjak memasuki tahapan pengerjaan skripsi, saya memilih pulang pergi naik motor dari rumah ke kampus yang

Jika Harus Punya Idola, 3 Tokoh Berikut yang Saya Pilih

     Saya ingat ketika Masa Orientasi Sekolah (MOS) di SMP dulu, kami harus menggunakan ID Card selebar A4 dengan identitas diri termasuk tokoh idola. Waktu itu saya bingung karena saya tidak merasa ngefans dengan siapa pun. Teman-teman saat itu banyak menulis public figure seperti artis, penyanyi, bahkan pejabat. Saya akhirnya mengosongi "tokoh idola" di ID Card warna pink milik Gugus 7 waktu itu karena memang tidak mengidolakan siapa pun.       Saat-saat sekarang, sebenarnya jika ada yang iseng tanya siapa tokoh yang saya idolakan, saya masih tetap tidak tahu. Tapi saya cukup memantau tokoh-tokoh berikut ini karena karya-karyanya dan saya rasa mereka bisa masuk kategori tokoh yang bisa saya idolakan. 1. Raditya Dika      Sebagian dari kita mungkin mengetahui siapa Raditya Dika. Dia adalah penulis, sutradara, produser, aktor, stand up comedian , dan Youtuber. Cukup banyak yang dia lakukan sehingga perlu saya sebut semuanya. Saya mengetahui Raditya Dika saat SMP karena

Menguji Nyali, Menuntaskan Misi

Tanggal 9 September minggu ini menjadi sebuah tanggal yang spesial bagi saya. Karena tepat satu tahun lalu, saya telah memberanikan diri untuk melangkah lebih dekat dengan skripsi. Sembilan September tahun lalu saya telah melaksanakan Seminar Proposal Skripsi. Sebenarnya ini bukan hal yang terlalu istimewa. Setiap orang yang kuliah dan mengambil mata kuliah skripsi atau tugas akhir juga akan melaksanakan Seminar Proposal. Tapi saat Anda berada di tahapan gak yakin-yakin amat , itu menjadi momentum uji nyali.  Ketika menulis postingan ini juga merupakan uji nyali bagi saya. Karena akhirnya saya punya mental yang siap untuk memberitahu banyak orang bahwa saya juga pernah mengalami masa-masa skripsian. Disaat orang lain menginjak tahapan skripsian, disaat itu juga saya tutup rapat-rapat dari orang lain. Rasa khawatir, malu, dan pikiran yang tidak penting itu rasanya selalu menghantui. Padahal juga tidak ada yang tanya sih, saya sudah sampai tahapan apa atau udah ngapain aja. Lagi-lagi, mo